Langsung ke konten utama

Kepingan Rindu dari Aku (CERPEN)


Kepingan Rindu dari Aku

“Aku kejar kamu! Dasar centil! Hahaha...”
Aku berlari mengejar keponakanku yang berusia sekitar lima tahun itu Dirinya berlari menuju ke pendopo restoran itu, tempat dimana keluarga kami berkumpul. Terlalu asyik berlari, aku bahkan tidak memperhatikan sekitarku dan tidak sadar ketika tiba-tiba menabrak seseorang.
“Maaf..”
Maafku terpenggal tatkala aku melihat wajah orang yang berhasil menarik paksa bahagaiaku mengejar keponakanku. Persis seperti tiga tahun lalu, kala orang itu berhasil menarik paksaku dari kewarasanku. Bibir tipisnya membentuk lengkungan tipis yang membuat kedua sudut matanya tertarik ke atas. Senyuman manis, sama seperti dulu, yang bahkan tidak pernah dia tunjukkan kepadaku. Senyuman yang sejak dulu menjadi canduku, favorit bagiku. Senyuman yang selalu saja mampu melumpuhkan separuh inderaku.
Demi Tuhan. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali melihat senyuman itu ditujukan padaku. Bahkan kurasa, tidak pernah. Yang aku ingat hanyalah: tatapan datar menusuk nan dingin miliknya yang selalu menjadi andalan saat bertatapan denganku. Diacuhkan, diabaikan, dan dianggap tak kasat mata. Rasanya sudah seperti makanan harian bagiku. Senyuman manisnya, selama ini hanya ada di anganku. Yang selalu menjadi angan tanpa pernah terealisasikan. Normalnya, semua itu seharusnya sukses menjadi komposisi pupuk untuk membencinya. Namun faktanya, hatiku ini terlalu bebal dan menuli jika disortir untuk membencinya. Akal sehatku terus meronta untuk melupakannya, tapi sialnya hatiku terus saja mendambanya.
“Apa kabar?” tanyanya.
Astaga. Otakku ini kenapa sih? Mengapa aku selalu sadar jika lelaki ini selalu menawan tanpa mengerti situasi dan kondisi? Hari ini, dirinya nampak tampan dalam balutan kaos bewarna maroon. Celana jeans panjang yang tidak terlalu ketat, berbeda dengan tiga tahun lalu yang selalu menggunakan celana model pensil. Sepatu converse yang nampa buluk itu masih setia menemani langkahnya. Rambutnya yang selalu berkeringat saat bermain futsal di lapangan sekolah dulu, kini nampak lebih acak-acakan dan memanjang. Berbeda dengan dulu yang selalu diberi pomade supaya rapi.
“Apa kabar, Abira?” sekali lagi, kesadaranku kembali ditarik paksa olehnya. Dan untuk pertama kali, lelaki itu menyebut namaku dengan lantang. Memanggil namaku dengan suara tegasnya, membuat jakunnya naik turun setelahnya.
“Ada apa?” tanyaku. Susah payah aku mengabaikan sapaan basa-basinya. Harus begini, sebelum aku kembali terperosok ke dalam pesona memabukkannya. Aku tak ingin, menghamba padanya bahkan seolah mengemis tanpa pernah dia perhatikan.
Menampilkan perfoma senyum terbaiknya, bibir tipis yang kini mulai menghitam itu bergerak, “Aku tanya apa kabar, kamu jawab ada apa?”
Tanganku mengepal kuat. Mengumpulkan pasokan oksigen aku berkata nyaris bergetar, “Aku sudah terbiasa dengan sikap skeptismu yang seolah menganggapku tak ada. Jadi, biarkan aku tetap pada zona nyamanku.”
Matanya yang tadi berbinar, kini seolah tampak meredup. Seolah bermain peran, seolah jawabanku akan mempengaruhinya. Padahal aku tau, itu tak lebih dari sapaan sampah basa-basi semata.
“Bisa kita bicara baik-baik?” tanyanya dengan suara yang bergetar. Seolah, separuh harapnya hilang.
Aku menghembuskan napas kasar, “Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan dengan kamu.”
Lelaki itu menatapku tajam, dalam. Seolah pandangan matanya itu menguliti seluruh tubuhku. Aku tau, dia sedang menahan rasa dongkolnya untuk tidak menendangku ke sungai Amazon karena jual mahal. Persis seperti dulu saat dia enggan bahkan untuk melihatku seincipun.
“Mungkin kamu memang nggak perlu. Tapi aku perlu, Bir. Aku yang butuh! Please ya? Sekali ini saja?” pintanya.
Aku meneguk salivaku susah payah, mataku menyorotnya dengan tatapan tak menentu. “Aku nggak ada waktu.”
Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berjalan mundur, menjauh. Keluar dari situasi yang seharusnya tidak pernah terjadi, yang seharusnya tidak pernah ku hadapi.
“Kenapa kamu nggak mau bicara sama aku, hm? Bahkan untuk sekali saja?” tanyanya memelas, seolah berharap bahwa aku akan mengiba.
Aku tersenyum, meremehkan. Meremas kemejaku kuat, seolah menguatkan diriku untuk berbicara lantang tentang apa-apa yang selama ini ku pendam. “Tanya diri kamu, Mas. Tanya kenapa kamu tiga tahun lalu nggak pernah bisa begitu sama aku? Kenapa kamu bahkan nggak mau kenalan sama aku? Kenapa kamu bahkan nggak pernah ngeliat aku walau seincipun?”
Aku tau, sangat tau. Saat ini rahangnya mengetat. Giginya saling beradu karena menahan emosi. Tapi aku tak peduli, tak akan pernah lagi peduli. Sebab, saat ini, yang aku mau adalah merealisasikan keinginanku: mengacuhkannya, menganggapnya seolah tak ada. Memperlakukannya persis seperti yang dia lakukan padaku tiga tahun lalu. Meskipun itu berat, pun menyayat.
J

Aku meringis kala tanganku ditariknya paksa. Kakinya yang jenjang melangkah dengan lebar-lebar tanpa peduli dengan aku yang kesusahan mengimbanginya. Entah bagaimana, lelaki ini seperti mempunyai kuasa akan diriku. Ketika tadi, setelah penolakan itu, dia membiarkanku berlari sejauh yang aku bisa, tapi kemudian menarikku kembali ke titik awal. Seperti yang dia lakukan selama ini: menjadikan aku seperti pluto. Ketika dulu, aku selalu mengelilinginya dan menjadikan dia pusat duniaku, dia menendangku dan mengeluarkanku dari planet. Dan kini, ketika aku sudah melupakannya, dia muncul dihadapanku secara tiba-tiba, dengan titah bahwa aku harus mengelilinginya lagi.
Dengan napas memburu, dirinya mendekat. Memegang pundakku erat-erat. Aku memegang tangannya, ingin menyingkirkan tangannya dari pundakku. Tangannya dingin, berat. Inikah rasanya? Tangan yang sedari dulu ku dambakan. Yang sedari dulu kuimpikan akan menggandengku, membukakan tutup botol untukku, dan bahkan merapikan anak rambutku? Mengapa rasanya hampa; tak bernada? Kupikir dulu, tangan ini rasanya seperti kembang api yang akan memberikan letupan-letupan serta debaran tak menentu dalam dada. Tapi mengapa kini rasanya....
“Aku harus apa?” tanyanya.
Aku menaikkan alis, “Buat apa?”
Mempersempit jarak di antara kita, lelaki itu mendekat lagi, “Aku harus apa supaya kamu mau maafin aku?”
Tiga detik, au gunakan untuk mencerna kata-katanya. Namun detik berikutnya adalah tawa sumbang yang aku ciptakan.
“Maaf untuk apa? Kamu bahkan nggak punya salah sama aku,” ucapku. Bohong! Nyatanya, sejujurnya, ada sejuta pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang apa-apa yang selama ini hanya aku simpan dalam doa, yang bahkan belum sempat kuungkapkan dalam kata.
“Maaf untuk semua kesalahanku,” ucapnya tulus. Kali ini, kedua tanganku digenggamnya erat, diambil alih kendali oleh dirinya. Maka dari itu, sebelum aku meledak di sini, buru-buru aku melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku tidak mau ketika tangaku merasa pas di genggamannya. Pula aku tidak mau jika tanganku akan terasa hampa tanpa tangan besar miliknya.
Yang aku tidak pahami adalah: kesalahan apa yang dia perbuat? Perlu diketahui, bahwasannya, di mataku, yang dia lakukan selama ini adalah pesona dan pesona! Pesona yang bahkan aku tidak mempunyai kuasa untuk menyangkalnya. Pesona yang diam-diam selalu kunikmati, dan dengan lancangnya berubah menjadi candu. Jelas ini tidak fair. Di sini perannya adalah sebagai stelsel pasif. Ketika dia hanya dengan diam, sudah mampu menebarkan pesonanya yang membuatku hampir mati tak berdaya. Dan dia pula, memiliki hak repudiasi; hak untuk menolak atau menerima.
“Maaf untuk awal yang buruk saat di sekolah menengah, maaf karena aku mengabaikanmu, maaf karena aku jalan dengan sahabatmu, maaf karena aku..” aku mundur satu langkah, membuatnya terdiam.
            “Cukup!” tegasku, kala dia bersiap untuk mengambil langkah.
            Please, maafin aku. Aku hanya nggak mau ada kecanggungan di antara kita, itu aja. Aku minta maaf, okay?” dia masih mencoba bernegosiasi, dan aku tidak peduli!
            Aku menatapnya lemah, lalu mengangguk perlahan. “Aku maafin.” Setelahnya, seperti ada beban yang terangkat dari dadaku. Seakan sesak yang selalu mendominasi kala aku melihatnya itu hilang terbang bersama angin. Seperti dendam yang kini mengepal itu kini terurai keluar.
            “Harusnya aku yang minta maaf,” aku menciptakan jeda. “Maaf karena aku membuatmu meminta maaf, maaf karena aku tidak bisa mengontrol perasaanku, maaf karena aku harus jatuh cinta sama kamu.” Aku terpaksa menyudahi ucapanku ketika masih banyak lagi yang ingin aku sampaikan. Tentu saja aku harus melakukannya, jika aku tidak mau terlihat seperti orang autis di hadapannya: menangis meraung-raung dan memukul rapuh dada bidangnya.
            Aku tersenyum, hendak berbalik. Karena aku rasa, tidak ada lagi yang harus kita bicarakan setelah ini. Aku rasa, inilah finalnya. Ketika di antara kami berdua sudah tidak ada dendam dan saling mengikhlaskan.
            “Diam di situ!” titahnya tiba-tiba.
            Dan seolah dia bisa meremot pergerakanku, aku diam sambil mengernyit heran. Lalu, tidak sampai berselang lima detik, dengan dua langkah lebar miliknya, dia mengurungku posesif dalam pelukannya. Aku terdiam cukup lama, meresapi harum yang selama ini hanya bisa aku baui setelah dia lewat. Ketika tangannya dengan telaten mengelus rambutku pelan, seolah menenangkanku. Dan yang harus diketahui adalah... usapan tangannya di rambutku dan wangi tubuhnya lebih magis dari lilin aroma. Lebih menenangkan, pun menghanyutkan. Aku meneguk salivaku susah payah. Karena sejatinya, yang paling susah dilakukan di dunia adalah melawan kehendak hati. Dan sekarang, aku berusaha melakukannya.
            Bingung harus melakukan apa, yang aku lakukan hanyalah menepuk-nepuk pundaknya pelan. Seolah berkata, aku tidak ke mana-mana. Padahal, aku hanya tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
            “Aku di sini, lepas ya?” aku lebih dulu menyuarakan protesku, sebelum aku memutuskan untuk menendang betisnya.
            Ku rasakan, kepalanya menggeleng. “Nanti kamu pergi, aku masih mau bicara sama kamu.” Katanya, membuat hatiku semakin berat untuk berpaling darinya. Inikah sikap manis yang selalu kuimpikan dulu?
            “Aku nggak akan ke mana-mana, janji.” Kataku. Dalam hati aku tertawa sumbang. Kenapa dia bertingkah seolah enggan kehilanganku? Padahal dulu, satu-satunya hal yang dia inginkan adalah aku hengkang dari muka bumi.
            Kurasakan pelukan kami terlepas, tapi tangannya masih memegang tanganku. “Abira selalu menepati janjinya, kan?” tanyanya dengan senyum miring khasnya.
            Aku tertawa, lalu mengangguk. “Iya, jadi lepas ya? Aku udah bisa jalan kok, tanpa digandeng.”
            “Banyak yang pengen aku omongin sama kamu, coffee?” tawarnya.
            Aku berpikir barang sebentar. Lalu aku mengangguk, “di dekat villa, ada kedai kopi.”
J
            UKS, aku rasa adalah tempat yang paling favorit untuk membolos. Sebab, di sini kita bisa tidur di kasur empuk dan mendapat fasilitas AC tanpa harus memikirkan pelajaran. Juga, tanpa harus kena marah karena tidak mengikuti pelajaran membosankan itu. karena kita diperlakukan seperti orang sakit di sini. Bilang saja sakit perut, mereka juga tidak akan tahu apakah kita berbohong atau tidak.
            Aku menghembuskan napasku setelah berhasil lolos dari investigasi tak kasat mata penjaga UKS, lalu menyibak gorden putih yang mengambil alih peran pintu. Lalu, aku menemukan seseorang yang terbaring di kasur ruangan itu. ketika aku hendak keluar dan mencari kamar lain, lelaki itu melenguh, seolah kesakitan, membuatku urung untuk meninggalkannya.
            “Are you okay?” tanyaku.
            Lelaki itu tidak menjawab. Bahkan, aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya sedang memunggungiku. Perlahan, aku mendekat berniat melihat wajahnya dan apa yang terjadi dengannya. Saat aku mencoba untuk menyentuh tangannya, aku yang justru dikejutkan olehnya. Entah berapa derajat celcius suhu tubuhnya saat ini. Yang jelas, sangat panas! Tiba-tiba, dirinya berbalik, terlentang. Ternyata, lelaki ini tengah tertidur.
            Saat aku tengah mengamati wajahnya, tiba-tiba matanya terbuka. Tak lama, karena setelahnya dia hanya berbalik, mencari posisi nyamannya untuk tidur. Setelahnya, entah hasutan dari mana, aku mengelus punggungnya. Berharap, dengan seperti ini dapat meredakan sedikit sakitnya. Sekitar tiga puluh menit,aku tetap mengelus punggungnya sampai dia tetidur, dengan pertanyaan yang diajukan hatiku yang tak bisa kujawab: kenapa aku melakukannya? Dan sejak saat itu... jika bertemu dia, debarku selalu mengarah padanya, ritmenya tak wajar—jauh dari batasan normal.
            “Abira!” lelaki yang sama, empat tahun lalu, kini mengembalikan kewarasanku ketika aku tengah bereuni dengan ingatan-ingatanku.
            “Hah?” tanyaku, belum paham apa yang tengah terjadi.
            Dirinya tertawa, kembali bersemangat seperti kala itu dia tengah bermain futsal dengan teman-temannya, “Kamu mau minum apa?”
            Aku gelagapan, “Samain aja.” Jawabku membuatnya mengernyit, tapi kemudian menurut. Astaga, lihatlah saat alisnya yang tidak terlalu tebal itu bertaut, membuat kerutan kecil di dahinya, seolah sedang sibuk berpikir.
            “Ngelamunin apa?” tanyanya.
            Aku menaikkan kedua alisku pura-pura tak paham, lalu kemudian tersenyum dan menggeleng. Aku harap, dia percaya dan tak menanyaiku lebih lanjut. Sebab, tidak mungkin aku mengatakan jika aku melamunkan bagaimana aku menyukainya. Dan pula, bagaimana aku memperlakukan dia saat sedang sakit. Lupakan tentang alasan bentuk kepedulian kepada sesama manusia, sebab aku tak yakin jika memperlakukannya seperti manusia. Terus terang, aku memperlakukannya seperti pangeran, yang mungkin tergores sedikit saja, akan membuatku terluka.
            “Aku mau kuliah di Bali.” Katanya membuka percakapan. Lihatlah, bibirnya yang tipis dan hitam karena rokok itu, kini tengah maju beberapa senti.
            “Oh ya? Hebat dong, jurusan apa?” aku mengatur baik-baik ekspresiku supaya tidak nampak bahagia.
            “Destinasi Pariwisata.” Katanya.
            Aku tersenyum mengangguk. Jujur, bagiku ini seperti omong kosong. Karena sejujurnya, aku sudah tahu bahkan sebelum ini. Bahkan sejak dia tes masuk, saat aku sedang UTS genap, aku sudah mengetahuinya, lebih dari ini!
            Tangannya terlurur meraih tanganku, dan aku hanya diam. “Aku tahu ini sulit buat kamu. Tapi, aku benar-benar harus mengatakannya sebelum aku pergi. Can I get my second chance?”
            Satu detik setelah dia melontarkan pertanyaan itu, duniaku seolah berhenti. Napasku tercekat, dan waktu seolah membeku. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah menatap mantanya nyalang, mencari di mana letak kebohongan yang dia lakukan saat ini. Lalu, kembali aku merasakan debaran itu, debaran yang jauh dari nalar. Gamblangnya, pertanyaan inilah yang aku harapkan dari dulu. Tapi mengapa kini saat sudah terealisasi hatiku berat untuk mengatakan bahwa dia bisa mendapatkannya? Mengapa justru seperti ini, saat harapanku bahkan sudah di depan mataku persis? Mengapa justru kini akal sehatku menerima, namun hatiku justru menolak?
            Can I?” dia bertanya lagi, membuat nyawaku yang tadinya berpencar kini terkumpul lagi. Aku meneguk salivaku, kala aku mendapati matanya yang diselimuti debar-debar cemas menanti jawabanku.
            “Kapan berangkat ke Bali?” aku melimpahkan jawabanku menjadi sebuah pertanyaan. Sekejap, matanya mulai meredup lagi. Dan otakku terus saja meneriaki tindakanku yang terbilang bodoh ini.
            Dengan suaranya yang bergetar dan nyaris tak terdengar, dia berkata sambil menunduk, “Minggu depan.”
            Aku mengangguk mengerti. Lalu, setelahnya adakah diam yang mendominasi. Membiarkan kami mencerna setiap keadaan. Dan, memproduksi kata-kata yang tepat untuk menghilangkan kecanggungan.
            Friend?” akhirnya, aku mengulurkan tanganku.
            Dia mendongak, lalu tersenyum menjabat tanganku, “Friend.”
            Lalu, setelahnya, kami berdua sama-sama tertawa. Entah tertawa karena apa. Seolah, kami hanya tertawa untuk menegaskan bahwa kami sama-sama tida apa-apa, tapi kenyataannya tidak. Kembali, aku teringat misiku dahulu. Bahwa akan memperlakukan lelaki di hadapanku ini dengan hal yang sama. Namun nyatanya, aku tidak menjadikan ini sebagai ajang pembalasan dendam, karena menurutku, pluto memang benar-benar tida bisa ditarik lagi untuk mengelilingi matahari sebagai planet. Seperti aku. Yang aku tahu, jawaban yang ku berikan sudah benar. Sebab, hatiku benar-benar tidak bisa diajak kompromi untuk menerimanya lagi. Hatiku menampik ketika otakku terus saja menstimulasi dan mencoba mempengaruhi bahwa debarku di luar orbit yang ditentukan. Tapi hatiku tetap pada pendiriannya, bahkan hatiku mengaku rindu. Rindu saat dulu: saat detakku dibuat menggila olehmu; saat debarku selalu mengarah kepadamu. Dan juga, rindu saat dulu, yang kini justru menjadi hal paling tabu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MISTERI VILLA KALIURANG

Hai teman-teman pembaca setia. Saya kembali hadir menemani malam Anda dengan cerita yang agak mistik a.k.a horor. Oke, cekidot .. Singkat cerita, malam minggu kemarin (6.1.17) saya dan keluarga besar (satu Trah) liburan ke Kaliurang. Kami telah sepakat menyewa salah satu villa yang dekat dengan obyek Telaga Putri. Satu minggu sebelumnya, keluarga kecil saya lah yang men-survey tempat tersebut sambil mengakhiri masa liburan. Tepatnya hari Senin, 2 Januari 2017 saat cuti bersama. Saat itu saya dan keluarga sudah berhenti di villa lain, lalu berkata bahwa akan lihat-lihat dulu. Dan sampailah kami di Telaga Putri, hanya membayar tiket dan keluar lagi. Tidak sampai 1km, mobil keluarga saya berhenti dan menuju salah satu villa di dekat Telaga Putri yang terkesan "agak mendingan" dari yang lainnya. Tempat ini memang tidak terlihat horor dan catnya masih baru. Saya dan keluarga langsung turun, lalu menemui pemilik villa tersebut. Berbincang cukup lama, setelah meminta persetujuan a...

Bagaimana kita bisa bersatu jika tempat kita berpijak saja sudah berbeda?

Aku berlari di antara hujan, berusaha berlari dari kenyataan. Namun akhirnya langkahku tersendal, terseret oleh kenyataan yang sedari tadi mengejar. Tubuhku lunglai terpuruk lemah. Hambar rasanya jika teringat segalannya.  Aku menatap ke atas, mendapati kau yang sudah mulai menapakkan kaki dan terbang. Sedangkan aku masih berjalan lemah dengan kaki yang nyaris patah. Namun kau tetap melangkah, seakan tak perduli kalau aku masih menyeret kakiku yang nyaris patah dengan gerakan yang lemah.  Awalnya, aku anggap perlakuanmu itu sebagai motivasi. Namun seiring berjalannya waktu ku sadar kau tak perduli. Sayang, aku lelah.  Aku lelah mengejar duniamu yang tak pernah bisa ku raih. Aku lelah mencari-cari perhatian yang selalu kau acuhkan. Sadarlah bahwa kau terlalu asik dengan duniamu. Bahkan kau selalu mengacuhkan segalanya yang aku berikan. Segala yang ku berikan kau anggap angin berlalu, atau mungkin hanya sebutir debu yang mustahil kau lihat. Bagaimana, Sayang? ...